F La Tahzan, Zuriyah! [Cerpen Hardiknas 2016 FKIP Unsri] - Hello NOR

La Tahzan, Zuriyah! [Cerpen Hardiknas 2016 FKIP Unsri]

Hi, there! Long time no post, hehe. Postingan kali ini adalah cerpen yang pernah kutulis dalam rangka perlombaan menulis cerpen tingkat nasional tahun 2016 yang diselenggarakan oleh BEM KM FKIP UNSRI ^_^ 





Alhamdulillah, La Tahzan, Zuriyah terpilih sebagai cerpen terbaik alias juara 1.. yeayy
Mau baca? Here it is!


La Tahzan, Zuriyah!
Oleh: Norma Oktika Rini

Berulang kali Zuriyah melihati kuku-kuku di jari tangannya yang mungil. Berujung panjang, hitam penuh kotoran. “Ah... ini pasti getah kangkung dan tanah sisa membantu Bapak berkebun kemarin. Mengapa kau begitu ceroboh, Zuriyah!” gumam Zuriyah dalam hati. Ia terus berjalan, sesekali berlari menyusuri tepian aspal yang panjang dan sepi itu, menuju sekolah.

Hari itu Senin pertama di bulan Juni 1971. Hari terbersih dan terrapi dalam seminggu bagi anak sekolahan, seperti Zuriyah. Hari dimana setiap warga sekolah melaksanakan upacara yang penuh khidmat dan damai. Sekolah Zuriyah berada di kampung, Zuriyah pun anak kampung. Mereka belum mengenal kemeja putih dan bawahan marun yang biasa dipakai siswa sekolah dasar seperti saat ini. Mereka tak punya seragam. Hanya pakaian “bebas pantas” yang dipakai setiap hari—tak berganti, atau setiap tiga hari baru diganti, atau juga setiap dua hari baru mengganti.

Sepanjang jalannya upacara, Zuriyah merasa gelisah. Khawatir kalau Pak Darman tidak mengizinkannya masuk kelas karena kukunya yang dekil itu. Ia selalu menunduk mencari sesuatu yang tipis dan berujung lancip untuk membersihkan kotoran-kotoran yang terselip dibalik kukunya yang panjang. Sesekali pandangannya menatap Pak Darman yang berdiri dalam barisan dewan guru, di teras ruang kantor. Namun, hingga upacara berakhir Zuriyah tidak menemukan benda yang ia cari.

Jantung Zuriyah semakin berdegup kencang tatkala Pak Darman, sang wali kelas berdiri di depan pintu masuk kelas 3A, kelasnya Zuriyah. Jailani, si ketua kelas yang arif itu mempersiapkan barisan. Dengan posisi yang tegap, menginstruksikan satu per satu siswa menghadap Pak Darman sembari menunjukkan jari-jari tangan mereka yang bersih sebelum masuk kelas. Tiba saatnya Zuriyah menghadap Pak Darman. Dengan penuh ketakutan ia menyodorkan kedua telapak tangannya. Bibir Pak Darman sebelah kiri menyungging ke atas, sebuah isyarat kecil yang artinya bahwa Zuriyah harus menepi ke sebelah kiri Pak Darman. Semua anak masuk kelas, tapi tidak dengan Zuriyah. Satu jentikan jari Pak Darman yang besar-besar itu mendarat ke punggung telapak tangan Zuriyah. “Jangan masuk kelas sebelum kukumu dipotong!”, jelas Pak Darman sambil melangkahkan kakinya ke dalam kelas.

“Siap! Beri salam!”
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”.

Kelas dimulai tanpa Zuriyah. Dan fenomena Senin pagi seperti ini sering ia alami. Zuriyah sudah terbiasa menghabiskan seperlima jam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (kini Pendidikan dan Kewarganegaraan) untuk membersihkan kukunya.

Diketuknya tiga kali jendela dekat bangku Rahmi, teman sebangku Zuriyah. “Mi, pinjami aku silet.” Bisik Zuriyah pada Rahmi. Setiap kali kuku Zuriyah lupa memotong kuku di rumah, ia selalu meminjam silet pada Rahmi. Dengan terampil Zuriyah memotong satu per satu kukunya yang panjang dengan pisau kecil peraut pensil Rahmi itu. Namun, hari itu berbeda. Zuriyah merasa malu atas perbuatannya. Zuriyah merasa bahwa ia telah mengecewakan kedua orang tuanya. Terbayang wajah Bapak yang banting tulang mencari uang demi membayar biaya pendidikan Zuriyah dan adik-adiknya. Terbayang wajah Ibu yang penuh cinta bejualan hasil panen Bapak sambil menggendong Zul, adiknya yang masih bayi. Zuriyah malu pada teman-temannya, pada gurunya, pada dirinya sendiri. “Bapak membayar biaya pendidikanku setiap bulan agar setiap pagi aku belajar di sekolah, bukan untuk ku habiskan pagiku dengan memotong kukuku yang panjang. Bapaaaak..... Ibu...... Maafkan Zuriyah” jeritnya dalam hati. Air mata Zuriyah menghujani pipinya yang tirus. Ia terus menangis deras hingga terasa perih jari telunjuknya. Tak sengaja Zuriyah menyayat telunjuk kanannya dengan silet itu. Air mata menetes di atas lukanya, menambah perih dirasa.

***

Sudah tiga hari luka di jari telunjuknya menganga. Luka sedalam 2 mm itu sengaja tak dibalutnya dengan perban, atau kain, atau pembalut luka sejenis. Ia khawatir jika Ibu melihat, Ibu pasti memarahi Zuriyah. Sekalipun Zuriyah mengadukan bahwa ujung-ujung jarinya dipukuli Pak Darman dengan mistar kayu yang panjangnya sedepa itu, Ibu tetap akan menyalahkan Zuriyah. Meski perihnya masih terasa, Zuriyah mencoba tidak mengaduh kesakitan. Ia tetap memasang muka ceria dihadapan Ibunya sambil membantu Ibu mencuci piring. Sesekali Zuriyah meringis perih. Untungnya Ibu tidak begitu memperhatikan mimik mukanya.

Dengan luka di jari telunjuknya, Zuriyah berjanji pada dirinya sendiri bahwa itu adalah hukuman yang terakhir baginya. Ia tak menyimpan dendam sedikitpun pada Pak Darman karena ia sepenuhnya sadar bahwa itu adalah buah dari kesalahannya sendiri. Ia malah bangga pada Pak Darman. Meski Zuriyah bintang kelas, Pak Darman tetap memberikan hukuman padanya. Karena Pak Darman, Zuriyah bertekad untuk menjadi seorang guru yang adil dan tidak mendiskriminasi siswanya. Karena Pak Darman, Zuriyah ingin menjadi pendidik yang mampu membimbing siswanya menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama. Sungguh, cita-cita Zuriyah—seorang gadis 8 tahun itu benar benar mulia.

***

Tahun berlalu begitu cepat. Zuriyah kini sudah kelas 3 Madrasah Tsanawiyah. Sudah tiga tahun nyatanya ia meninggalkan kampung kecilnya. Meninggalkan Ibu-Bapak dan adik-adiknya dan hidup di kota demi pendidikannya. Tiga tahun menjadi gadis kota ternyata tidak megubah cita-citanya menjadi seorang guru. Ia berencana melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru yang ada di kota, dekat dengan madrasahnya saat ini. Sayangnya, Bapak tidak merestui keinginan Zuriyah untuk melanjutkan sekolah. Bapak ingin anak gadis satu-satunya itu pulang ke kampung, kembali menjalani hidup bersama-sama dengannya, dengan Ibu, dan adik-adik Zuriyah.

“Jadi guru tak harus lulus SPG, Zur. Kamu tetap bisa menjadi guru di kampung kita meski ijazahmu hanya setara SMP. Ya... guru di TPA kan sama saja, Zur. Sama-sama ngajar to? Buat apa anak gadis bersekolah tinggi-tinggi? Nanti kalau kamu menikah, tugas kamu, ya tidak jauh-jauh dari dapur. Iya kan?. Ikutlah Bapak, nak! Pulang ke kampung kita.” Bapak membujuk Zuriyah saat hari kelulusannya.

“Tapi, Pak...” Zuriyah mencoba menjawab, namun tak tega melihat wajah Bapak yang penuh harap itu.

Kala itu Zuriyah memang tidak tahu, mengapa Bapak tidak membiarkan Zuriyah melanjutkan pendidikan? Mengapa Allah tidak memberi jalan? Semangat Zuriyah menjadi guru pun mulai pudar.

Belum genap setahun ia menjadi pengangguran pasca wisuda santri madrasah tsanawiyahnya, Zuriyah, adik-adiknya, dan Bapak harus merelakan kepergian Ibu. Ada tumor tumbuh di dalam perut Ibu selama dua tahun terakhir. Ibu tak pernah menceritakan tentang tumornya pada Zuriyah. Bapak tak pernah mengadu pada Zuriyah. Zuriyah mulai paham, tentang permintaan Bapak atas pendidikannya yang tidak dilanjutkan, tentang kebun Bapak yang diam-diam telah tergadaikan. Ia pun menyesal. Andai ia tahu ada tumor di tubuh Ibu, ia tak sepenuh hati mengurus Ibu yang memang sudah lemah tak berdaya di kamar. Semua karena perasaan dendam—perasaan kecewa pada Ibu, pada Bapak, pada Tuhan.

Masih terbayang wajah Ibu di hari-hari senja Zuriyah. Meski sudah lama kepergiannya. Terbayang tegasnya Bapak membimbing mereka dahulu, dan Bapak pun telah lama menyusul Ibu menemui Rabb-nya. Meski Zuriyah sudah menikah dengan Rasyid, seorang pria sholih di kampungnya. Adik-adiknya pun sudah berkeluarga semua. Ibu dan Bapak selalu hidup dalam hatinya, juga di hati adik-adiknya.

Kini Zuriyah mengabdikan dirinya sebagai guru mengaji. Menjalani hidup sebagai seorang guru yang menuntun setiap muridnya agar pandai membaca, memahami, serta mengamalkan Al-qur’an. Zuriyah tak sedih lagi akan cita-citanya. Baginya, menjadi guru mengaji sama mulia dengan cita-citanya dulu, “membangun insan cendikia”. Zuriyah malu pada Rabb-nya. Dulu ia pernah amat sangat kecewa saat Allah tak mengabulkan keinginannya. Namun baginya kini, mendidik para calon pemimpin dunia menjadi insan yang bertaqwa adalah lebih membahagiakan hatinya. Sejak itu, zuriyah percaya bahwa tak perlu kecewa atas apa yang telah ditetapkan oleh-Nya untuk kita. Dan dikala Zuriyah sedih ia selalu berkata “La Tahzan, Innallaha Ma’ana!”.

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar